Cina Sebagai Kiblat Kebudayaan Di Asia Timur
Sebetulnya,
dua kali Cina “mengalami kebangkitan” dan pada kedua kesempatan itu
Cina menimbulkan kegoncangan. Yang pertama pada tahun 1949, ketika Cina
di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil memperoleh kemerdekaannya dan
mengumumkan diri sebagai negara komunis. Seluruh dunia, termasuk Asia,
goncang dengan munculnya Cina yang kuat. Amerika Serikat perlu
mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengepung Cina dan menjalankan containment policy. Dari tahun 1950-an hingga tahun 1990-an dunia harus hidup dalam suasana ketakutan akan Cina sebagai negara komunis yang ganas.
Pada
tahun 1990-an, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, dan kemajuan
pesat perekonomian Cina, muncul juga kegoncangan di seluruh dunia. Kali
ini bukan karena Cina mengancam dengan ideologi komunismenya, melainkan
dengan kekuatan ekonominya yang dahsyat. Seluruh dunia goncang karena
banjir ekspor produk dari Cina yang murah, yang menghancurkan industri
domestik banyak negara. Amerika Serikat kali ini tidak mampu berbuat
banyak kecuali berteriak-teriak keras, mengritik Cina. Begitu juga
banyak negara lain.
Kebangkitan
Cina yang kedua ini berbeda dari kebangkitan yang pertama karena Cina
tidak hanya bangkit di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang
lain. Pada saat ini, di samping produk ekspornya yang murah, Cina juga
dikenal lewat prestasi olah-raganya yang mencapai tingkat dunia. Yao
Ming, dan disusul oleh Yi Jianlian, telah berhasil menembus klub elit
bola basket Amerika Serikat, NBA. Hanya di bidang sepak bola Cina belum
bisa bicara banyak. Film-film Cina dihargai di festival-festival
internasional, bahkan memenangkan berbagai hadiah yang amat prestisius.
Begitu pula banyak pemain musik (a.l. Liu Siqing, biola, Lang Lang,
piano) yang mendapat sambutan meriah di aneka gedung kesenian di seluruh
dunia. Pelukis-pelukis Cina (a.l. Fang Lijun) juga telah menghiasi
banyak pameran di galeri-galeri terkenal di dunia dan diburu oleh para kolektor lukisan. Lewat karyanya Gunung Sukma (灵山), pengarang
Gao Xingjian, memenangkan hadiah Nobel Kesusasteraan 2000. Pada tahun
2003 Cina berhasil melontarkan satelit yang membawa manusia yang
mengorbit di luar planet bumi, negara ketiga di dunia yang bisa
melakukan hal ini (sesudah Rusia dan Amerika Serikat).
Catatan
singkat di atas disampaikan untuk sekedar menggambarkan kebangkitan
Cina yang lebih luas. Semakin Cina mampu mengembangkan kebudayaannya,
semakin besar pula power yang
dimiliki. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Joseph Nye yang
membuat analisis kekuatan yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Negara ini
menjadi superpower tidak hanya karena kekuatan kerasnya (hard power), tetapi juga kekuatan lunaknya (soft power). Apa yang terjadi di Asia Timur di masa depan tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan Cina dalam hal soft power ini.
Kalau Cina terus menanjak seperti sekarang, di segala bidang, dapat
dibayangkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan yang luar-biasa. Hal ini
yang harus diperhitungkan sejak sekarang.
Dalam makalah ini akan diperlihatkan bagaimana Cina telah mengembangkan faktor kebudayaan yang dipakainya untuk mengembangkan soft power. Sesudah itu akan dibuat beberapa assessment dan akan dilanjutkan dengan memperhitungkan implikasi yang muncul dari situ.
MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN
Cina saat ini dengan sadar mengembangkan kebudayaan (culture) dalam rangka usahanya untuk menyebarkannya ke seluruh dunia. Menurut Direktur Informasi, Zhao
Qizheng (2006), Cina saat ini mengalami “defisit kultural” yang serius,
artinya Cina tidak mempunyai cukup kekuatan di pasar kebudayaan dunia.
Harus segera dilakukan usaha untuk membalikkan situasi ini, katanya.
“Cina tidak akan memnjadi kekuatan kebudayaan sampai Cina menguasai
pangsa pasar kebudayaan di pasar kebudayaan dunia. Hanya jika Cina mampu
menjadi adidaya kultural, maka Aina akan menjadi sebuah kekuatan
adidaya di dunia.” (Xu, 2007). Hal yang serupa dikatakan oleh Liu
Changle (2005), seorang direktur eksekutif sebuah stasiun TV. Dia
melihat meskipun penduduk Cina merupakan 20% penduduk dunia, tetapi 80%
media dunia dikuasai oleh media berbahasa Inggris. “Media non-Barat,
termasuk media Cina, tersingkir dari arus utama dunia, dan kami ada di
posisi yang lemah.” (Liu, 2005).
Kesadaran
ini segera mendorong Pemerintah Cina untuk menyusun sebuah rencana
strategis pengembangn kebudayaan untuk mendorong ekspor kebudayaan Cina
dan memajukan kebudayaan Cina di luar-negeri. (Xinhua
News Network, 2006). Rencana ini didasarkan pertimbangan bahwa
kebudayaan memainkan peran menentukan dalam pertarungan internasional,
terutama untuk mengukur kekuatan kompetitif sebuah negara secara
komprehensif. “Kekuatan kebudayaan makin menjadi tolok ukur untuk
mengukur kekuatan nasional secara menyeluruh. Di panggung internasional,
Cina tidak hanya memerlukan kekuatan di bidang ekonomi, sains,
teknologi, dan pertahanan, tetapi juga kekuatan
kebudayaan yang tangguh di gelanggang persaingan internasional.” (Xinhua
News Network, 2006). Ditekankan bahwa Cina harus secara
nyata meningkatkan saluran-saluran untuk terjadinya tukar-menukar
kebudayaan, menyebarluaskan media berbahasa Cina di luar negeri, serta
menaikkan daya saing serta dampak dari produk-produk kebudayaan Cina.
Dalam
kesempatan sebuah konferensi para seniman dan sastrawan pada bulan
November 2006, Hu Jintao, Kepala Negara dan sekaligus juga Sekretaris
Jendral Partai Komunis Cina, membuat sebuah
pernyataan yang tajam: “Pokok paling penting untuk dibahas adalah
bagaimana mendefinisikan arah yang benar bagi perkembangan kebudayaan
negara kita, bagaimana menciptakan sebuah kebudayaan nasional yang baru
dan megah, bagaimana meningkatkan daya saing internasional dari
kebudayaan negara kita, dan bagaimana memperbaiki kekuatan lunak
nasional” Pandangan ini sekali lagi dikemukakan dalam kesempatan
Konggres Partai Komunis Cina ke-17, Oktober 2007.
Data-data
yang berhasil dikumpulkan menunjukkan betapa Cina telah benar-benar
melaksanakan rencananya itu. Data dari UNESCO, misalnya, memperlihatkan
produk kebudayaan Cina telah berkembang cepat dalam kurun waktu sepuluh
tahun. Pada tahun 1994 Cina hanya menguasai pangsa pasar 8,3% dari
produk kebudayaan Amerika Serikat, dan pada 2003 angkat itu telah
meningkat menjadi 30,8%. Dari data itu juga
nampak bahwa produk kultural Cina menduduki peringkat-peringkat tinggi.
Cina adalah nomor satu sebagai eksportir media audi-visual, nomor 2
dalam kesenian visual, nomor 7 dalam ekspor buku dan barang cetakan
lainya. Cina mengekspor lebih banyak daripada mengekspor, sehingga Cina
menjadi negara peringkat atas yang neraca perdagangannya
positif di bidang produk kultural. Data UNESCO itu memang
memperlihatkan Cina termasuk eksportir besar dalam hal perdagangan
barang kebudayaan.
Produk
kebudayaan yang menarik untuk disimak adalah televisi. CCTV (China
Central Television) dapat dikatakan memiliki pemirsa paling besar di
dunia. Ia merupakan stasiun TV yang mempunyai jaringan paling luas dan
ditonton oleh 95,9% penduduk Cina. Di tingkat internasional CCTV
dipancarkan melalui satelit selama 24 jam dan 7 hari per minggu, dan
dapat disaksikan di lebih 100 negara di dunia, dengan pemirsa sebanyak
65 juta orang pada akhir tahun 2006. CCTV 4 yang
didirikan pada tahun 1992 merupakan saluran internasional pertama, dan
sasaran utamanya adalah orang-orang Cina diperantauan dan mereka yang
paham bahasa Cina. Bahasa yang dipakai adalah Mandarin dan Cantonese,
diselingi dengan bahasa Inggris. Konon penontonnya berjumlah 15 juta di
seluruh dunia. CCTV 9 merupakan saluran internasional berbahasa Inggris
yang mulai pada September 2000. Sasaran pendengarnya adalah mereka yang
tidak bisa berbahasa Mandarin. Tercatat 50 juta pelanggan di seluruh
dunia. Pada tahun 2004 CCTV memulai siaran dalam bahasa Prancis dan
Spanyol, keduanya berhasil merebut pemirsa sejumlah 2 juta orang. (China Radio and TV Yearbook, 2006). Meskipun sangat mahal mengoperasikan siaran lewat satelit selama 24 jam, Cina tidak memungut bayaran untuk siaran-siarannya.
Di
samping itu, para pemirsa internasional juga menapatkan akses ke CCTV
dan juga program TV lokal Cina (stasiun TV Shanghai, stasiun TV Hunan,
stasiun TV Yunnan, dsb. ), lewat layanan domestik mereka masing-masing.
Hal ini bisa terjadi lewat penerima TV satelit atau lewat jaringan TV
satelit, ataupun perusahaan TV kabel. Di kota-kota besar di dunia,
seperti Washington, DC, New York City, Los Angeles, San Francisco (AS),
Sydney (Australia), London (Inggris), tempat tinggal orang Cina imigran
yang besar, CCTV dapat diperoleh lewat stasiun TV lokal. Raksasa
media di Barat berebut pangsa pasar di Cina. Hal ini dimanfaatkan oleh
Cina dengan menjalin kerja sama dengan Time Warner, News Group (AS), Sky
TV (Inggris) dan sebagai tukarnya menyediakan TV dalam bahasa Cina ke
dalam jaringan mereka. Meski demikian, Pemerintah Cina tetap menerapkan
kendali ketat dan sensor atas media Barat yang masuk ke pasar kebudayaan
di Cina.
Bidang
pendidikan pada umumnya dipakai sebagai wahana penyebaran nilai-nilai.
Negara-negara Barat menyebarkan nilai-nilai modern lewat beasiswa untuk
menuntut ilmu di perguruan tinggi mereka. Sejak seratus tahun ratusan
ribu mahasiswa dari seluruh dunia datang ke Eropa dan Amerika Serikat
untuk menuntut ilmu di sana. Cina pernah mengalami masa seperti ini pada abad ketujuh ketika banyak mahasiswa, terutama dari Korea dan Jepang, datang ke kota
Zhang’an untuk mempelajari kebudayaan Cina. Saat ini Cina juga
didatangi lagi oleh mahasiswa-mahasiswa dari seluruh penjuru dunia.
Empat universitas yang selalu menjadi tujuan mahasiswa adalah
Universitas Beijing, Universitas Tsinghua (keduanya di Beijing), Universitas Fudan dan Universitas Jiaotong Shanghai (keduanya di Shanghai).
Pemerintah
Cina ikut mengambil inisiatif untuk menarik mahasiswa asing datang ke
Cina. Mereka mengadakan berbagai seminar untuk menarik mahasiswa.
Misalnya pada tahun 1999 diselenggarakan seminar di Jepang, “Seminar Memperkenalkan Studi di Cina” (留学说明会)。 Seminar yang serupa diadakan di Korea
pada tahun 2000. Sementara itu Pemerintah Cina juga menawarkan beasiswa
kepada mahasiswa asing yang ingin belajar di Cina. Pada Desember 2006 ,
misalnya, Menteri Pendidikan menyediakan 11.000 beasiswa kepada
mahasiswa asing yang ingin belajar pada tahun 2007. Pemerintah daerah,
universitas daerah, juga perusahaan-perusahaan, menawarkan dukungan
finansial kepada mahasiswa asing. Pada tahun 2006 tercatat 162.695
mahasiswa asing, kenaikan tiga kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang
Cuma mencatat 52.150 mahasiswa. (Education Yearbook of China, 2001-2006)
Sebuah
usaha untuk menyebarkan kebudayaan Cina secara lebih aktif ditempuh
oleh Pemerintah Cina dengan mendirikan sekolah bahasa Mandarin. Hal ini
sudah dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004 Pemerintah Cina
memperkenalkan sebuah rencana yang ambisius, yaitu mendirikan 500
Institut Konfusius (孔子学院)
di seluruh dunia pada tahun 2010. Sampai Mei 2007, jumlah Institut
Konfusius telah mencapai 155 dan tersebar di 53 negara di seluruh dunia.
Ini berarti satu Institut Konfusius setiap empat hari! Institut
Konfusius didanai oleh negara dengan tujuan untuk mempromosikan bahasa
Mandarin karena lewat bahasa diharapkan banyak orang di seluruh dunia
tidak hanya belajar bahasa tetapi juga adat-kebiasaan serta alam pikiran
Cina. Di Indonesia kini sudah ditandatangani empat Institut Konfusius
di Pulau Jawa.
Yang
kini semakin disadari adalah menyebarnya “model pembangunan” yang
ditempuh Cina. Seiring dengan kemajuan ekonomi Cina yang spektakuler,
orang juga memperhatikan model pembangunan yang sedang ditempuh oleh
Cina. Bagaimana mungkin Cina bisa maju padahal Cina tidak menerapkan
prinsip pasar bebas secara penuh, dan sekaligus juga tidak menerapkan
demokrasi? Pertanyaan ini semakin bergema kuat, dan menjadi tantangan
serius bagi model pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara
Barat. Kapitalisme atau pasar bebas ternyata tidak usah diiringi dengan
demokrasi, bahkan kombinasi setengah pasar bebas dengan setengah
otoriter bisa menghasilkan “keajiban ekonomi.” Seorang peneliti di
London, Joshua Cooper Ramo, memperkenalkan istilah “Beijing Consensus”
untuk dipakai menjelaskan rahasia kemajuan pembangunan yang terjadi pada
Cina saat ini.
Pemerintah
Cina sendiri tidak mau menanggapi munculnya “Beijing Consensus,” bahkan
agak menjauhkan diri. Meski demikian, “Beijing Consensus” telah
terlanjur menjadi bahan diskusi dan perdebatan di berbagai kalangan
intelektual. Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dengan antusias
menyambut model pembangunan ini. (Zhang, 2006)
Mereka diyakinkan bahwa untuk menjalankan pembangunan tidak perlu
mengikuti “Washington Consensus,” sebuah istilah yang menggambarkan
model pembangunan yang didasarkan atas tiga pilar, yaitu privatisasi,
deregulasi, dan perdagangan bebas. Selama ini mereka menyaksikan betapa
besar biaya yang harus dibayar ketika menerapkan “Washington Consensus.”
Baik di Afrika maupun di Amerika Latin, ekonomi mereka semakin terpuruk
setelah menerapkan tiga pilar itu. “Beijing Consensus” dipandang
sebagai sebuah alternatif yang nyata, bahkan dapat dipandang sebagai
sebuah cara keluar dari cengkeraman negara-negara kaya.
Dengan
ini Cina kini telah menjadi sebuah “kiblat” bagi negara-negara sedang
berkembang, bahkan juga negara-negara maju. Di Asia Timur (termasuk Asia
Tenggara) posisi Cina sebagai kiblat juga makin dirasakan. Dalam sebuah
jajak-pendapat yang diadakan oleh Chicago Council on Global Affairs yang
bekerja sama dengan Lowy Institute, orang Korea Selatan ditanya
mengenai perasaan mereka terhadap Cina. Untuk itu dipakai skala
termometer untuk mengukur panas yaitu dari 0-100. Orang Korea ternyata memberikan angka 57 (orang Australia
memberi angka 61 untuk pertanyaan yang sama). Kalau mengukur dengan
jumlah mahasiswa yang belajar di Cina, statistik menunjukkan pada tahun
2006 tercatat 74,33 persen mahasiswa asing di Cina berasal dari Asia,
dan di antaranya 50 persen berasal dari Korea Selatan. (Education
Yearbook of China, 2007) Sementara itu Cina saat ini juga menjadi sumber bantuan keuangan bagi banyak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan ini negara-negara penerima bantuan terikat dengan rasa “hutang budi,” yang besar. Pepatah Indonesia mengatakan: Hutang budi dibawa sampai mati!
Pada akhirnya catatan tentang orang keturunan etnis Cina (sebutan resmi “huaren” 华人). Terutama di Asia Tenggara, tetapi juga di Asia Timur (Taiwan,
Jepang) orang keturunan etnis Cina merupakan komunitas yang besar.
Dalam uraian di atas sebenarnya perlu ditanyakan apakah produk-produk
kebudayaan tersebut dikonsumsi oleh orang keturunan etnis Cina.
Pemerintah Cina tentu tidak berharap bahwa produk kebudayaannya hanya
dikonsumsi oleh keturunan etnis Cina.
Meski demikian, kalau memang
jumlah mereka cukup besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka
menjadi konsumen terbesar dari produk kebudayaan dari Daratan Cina.
Masih perlu penelitian yang teliti dan mendalam untuk hal ini. Sambil
menunggu hasil penelitian tersebut, sudah dapat ditarik kesimpulan
sementara bahwa kelompok ini – dengan atau tanpa produk kebudayaan dari
Cina – akan berperan penting dalam hubungan dengan Cina. Kedekatan
kebudayaan (cultural affinity), walaupun bukan jaminan pasti, tetap menjadi faktor penting dalam membangun hubungan yang dekat dengan pihak di Daratan Cina.
Indonesia
yang mempunyai sejarah kelam di bidang hubungan dengan keturunan etnis
Cina ini, perlu memikirkan dalam-dalam mengenai hal ini. Baru sepuluh
tahun yang lalu Indonesia
mengalami tragedi besar ketika harta-milik orang keturunan etnis Cina
dijarah dan dibakar. Sementara ini telah dicatat banyak kemajuan besar,
baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Kalau kecenderungan ini
bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan, Indonesia sebenarnya mempunyai “asset” yang luar biasa untuk mengadakan hubungan dengan Cina. Cultural affinity yang
mereka miliki dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membinan hubungan
dengan Cina, baik pemimpin politik, pelaku bisnis, maupun civil society pada umumnya.
BIBLIOGRAFI
Liu, Changle.
2005. “Have Chinese Media’s Voices Heard in the World.” Speech at the Advanced Forum of the Chinese Media Development. Di akses dari
Nye, Joseph
2004 Soft Power. The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs)
Wibowo, I.
2007 “China’s Soft Power and the Neo-Liberal Agenda in ASEAN,”makalah untuk seminar, “The Rise of China and Its Soft Power,” diselenggarakan oleh S.Rajaratnam School of Internasional Studies, Nanyang Technological University, Singapore, 18-19 October 2007.
Xu, Suqin.
2007 “Rejuvenation of Chinese Culture and Enhance Our Soft Power,” dlm. Jinyang Netowork, Agustus 22, 2007, diakses dari http://www.ycwb.com/myjjb/2007-08/22/content_1592212.htm
Zhao, Qizheng.
2006. "How China Becomes a Major World Power: Four Major Elements." Wenhui Daily (March 15, 2006) diakses dari
http://www.zsr.cc/ExpertHome/ExpertAttention/200603/12959.html
Zhang, Weiwei,
2006 “The Allure of the Chinese Model,” International Herald Tribune (November 1, 2006)Sumber : http://belajardaricina.blogspot.com/2008/02/cina-sebagai-kiblat-kebudayaan-di-asia.html
Cina Sebagai Kiblat Kebudayaan Di Asia Timur
0 comments:
Posting Komentar
Jika Admin tidak menjawab di halaman ini, mungkin Admin telah mengirimkan jawabannya melalui e-mail Anda. Jadi harap lihat e-mail Anda.